stories from jail

judul: stories from jail

media: akrilik diatas kanvas
ukuran: 80X80cm
tahun:2011

judul: selewat dini hari

teknik: akrilik diatas kanvas
ukuran: 90X90 Cm
tahun: 2011

karya lukisan saya ini terinspirasi pengalaman pendampingan di dalam lapas anak pria tangerang. saya membuat kegiatan pendampingan lewat seni rupa dalam bentuk aktifitas menggambar komik curhat. dalam pengamatan saya selama mendampingi anak-anak lapas, ada hubungan istimewa antara anak lapas dan kucing yang mereka piara dan berkeliaran bebas di dalam penjara. kucing menjadi alat pelampiasan rasa sayang, cinta, juga kangen terhadap keluarga mereka.

Masih Ada Yang Ingat Vinyet?

Sebagai catatan awal, kalau anda googling kata vinyet, yang akan berhamburan adalah vinyet sebagai salah satu teknik dalam fotografi. Tambahkan kata “gambar” di depan vinyet, jangan-jangan, tulisan saya ini yang akan muncul..:))

Menurut KBBI, Vinyet adalah, 1:  Bentuk hiasan dl seni grafika dan arsitektur yg diambil dr bentuk tbhn mrambat, daun, dsb
2: Goresan atau potret kecil pd bidang tepi sekeliling halaman buku.

Stilasi daun/ pohon merambat, adalah ciri khas vinyet, ditambah pengulangan bentuk dasar, atau garis. Bentuk manusia dan hewan juga tidak haram.
Ciri lain adalah, bercorak dekoratif sehingga terlihat flat.

Di Indonesia, Vinyet pernah merasakan “masa jaya”, pada tahun 1970-1980 an.
Majalah gaul semacam HAI saja di masa itu memuat gambar Vinyet untuk mengisi ruang kosong di sela-sela rubrik-rubriknya, terutama rubrik sastra/ puisi.

Selain majalah, Koran Pos Kota tercatat  memuat gambar Vinyet berdampingan dengan Kartun di edisi minggu.
Juga beberapa koran merah terbitan daerah atau Jakarta. Dengan “kreatif ” memanfaatkan gambar Vinyet untuk menyembunyikan angka-angka keberuntungan yang bisa diutak-atik sebelum membeli kupon undian berhadiah/Porkas dan SDSB.

Yang paling “memanusiakan” vinyet, tentu saja majalah Sastra.
Disela-sela rubrik puisi, Vinyet muncul selain untuk mengisi ruang kosong, juga menjadi pemanis bernilai artistik.

Di tahun 1990an awal, saya masih merasakan manisnya “berkah” vinyet, saat gambar Vinyet yang saya buat dimuat di majalah Putera Kita dan Djoko Lodang di Jogjakarta. Jaman  masih sekolah SMU/SMSR, uang jajan di dapat selain dari membuat gambar kartun, juga dari Vinyet. Waktu itu honor vinyet lebih rendah dari kartun. KAlau tidak salah Rp. 2.500,- yang cukup buat jajan di kantin (harga nasi bungkus masih seratus perak :P)

Kembali ke Vinyet.
Vinyet yang “fitrahnya” adalah berfungsi mengisi ruang kosong pada tulisan yang sering tidak terprediksi ujungnya, kemudian kehilangan “eksistensi”nya setelah Problem ruang kosong kemudian diatasi oleh software macam Page Maker, atau Indesign versi terbarunya,
Software tersebut mempunyai kemampuan mengatur huruf sedemikian rupa sehingga problem jarak antar huruf, atau antar kalimat yang menyebabkan naskah “menggantung” bisa diatasi.

Tetapi, apakah gara-gara kemajuan teknologi Vinyet kemudian “punah” seperti sekarang?
Tak ditemukan lagi jejak gambar Vinyet di koran atau majalah pop. (Mungkin di majalah Sastra masih ditemukan)
Atau mungkin kesan jadul gambar Vinyet yang membuatnya seperti tidak layak untuk ditampilkan di koran atau majalah “modern.”

Mungkin, perlu tafsir visual ulang terhadap vinyet agar bisa tapil lagi di majalah dan koran, eksis sebagai seni gambar yang utuh, tetapi tidak melupakan fungs awal, sebagai “pemanis” kekosongan ruang.
Atau, jangan-jangan, kita bisa menggunakan medium visual vinyet yang secara umum visual yang dimunculkan adalah nuansa liris, kontemplatif, atau imajinatif cenderung romantik, sebagai alat terapi bagi yag sedang galau?

Coba saja, buat anda yag sedang galau, buatlah gambar vinyet.
:-)).. itung-itung melestarikan seni gambar Vinyet agar tak punah. 😛

ilustrasi: vinyet yg saya buat beberapa tahun lalu