NOVIS

Tentang NOVIS

Saya menggambar Notulensi Visual awalnya di tahun 2015, tepatnya tanggal 26 Maret 2015 di acara Forum Meeting FHK (Forum harimau Kita) di Bogor.

Ya, Novis adalah nama karangan saya sendiri untuk memberi identitas. Pekerjaan merekam suatu aktivitas baik itu rapat, seminar ataupun lokakarya menjadi bentuk grafis/ visual. Kegiatan ini biasanya disebut Graphic Recording.

Ada juga Graphic fasilitation, dimana seorang fasilitator pembuat grafis merekam proses sebuah workshop, lokakarya atau rapat sehingga menghasilkan citra visual dan teks yang merekam semua proses pertemuan. Harapannya tentu akan memudahkan pemahaman dari proses rapat tersebut.

Sudah beberapa kegiatan saya buat menjadi Novis, dan rata-rata responnya cukup baik. Orang-orang merasa terbantu memahami proses workshop/ rapat FGD yang mereka ikuti. bahkan beberapa peserta kemudian malas mencatat, toh nanti bis amemotret hasil kerja notulensi visual saya.
Demikian sedikit penjelasan tentang Novis, bila ada yang berminat untuk menggunakan jasa saya, bisa hubungi lewat nomor WA 081514158074, dan untuk melihat hasil kerja saya silahkan kunjungi akun instagram @notulensivisual

Sebuah Surat Terbuka dari Dr. Helena Spanjaard

tulisan aseli ada di: http://www.svastisarasvati.com/index.php?page=news-press&num=55

June 29, 2012

Masih berkaitan dengan acara “Fine Art Round Table Discussion: Indonesian Modern Paintings, a discussion with dr. Oei Hong Djien” yang digelar pada 24 Mei 2012, Sarasvati Art Management belum lama ini menerima sebuah surat terbuka yang juga merespon acara tersebut.

Surat ini kami terima dari Dr. Helena Spanjaard – sejarawan dan peneliti seni rupa modern dan kontemporer Indonesia. Surat dari Dr. Helena ditulis dalam bahasa Inggris dan kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

 

 
Misteri Seni atau Sejarah Seni?
Sejak pembukaan Museum OHD di Magelang (5 April 2012) muncul beberapa reaksi yang beredar di dunia seni rupa Indonesia. Reaksi-reaksi ini kemudian menggiring pada diselenggarakannya Fine Art Round Table Discussion di Jakarta (24 Mei 2012). Sebagai seorang sejarawan seni yang telah lama meneliti seni rupa modern dan kontemporer Indonesia, saya ingin berkontribusi ke dalam diskusi ini dengan berbagi pendapat saya kepada kalian.

Sebuah kesenangan luar biasa bagi saya karena dapat menghadiri pembukaan Museum OHD ke-3 di Magelang. Karena saya menginap selama beberapa hari di sana, saya mendapatkan kesempatan baik untuk mengunjungi museum dan mempelajari lukisan kelima maestro ini: Affandi, Sudjojono, Hendra, Widayat dan Soedibio.

Pertama kalinya saya melihat karya yang secara tak terduga berkualitas begitu tinggi dengan konten yang begitu unik betul-betul membuat saya tercengang. Sungguh sebuah perjamuan untuk mata dan jiwa. Karya-karya ini memperkaya pengetahuan saya dengan informasi baru yang dibawanya. Pameran ini memberikan arti baru pada pentingnya peranan para pelukis tersebut dalam sejarah seni rupa Indonesia.

Sehari sebelum pembukaan, dr. Oei memandu satu grup jurnalis mengelilingi koleksinya. Dengan ke-khas-an antuasiasmenya yang menginspirasi, ia menjelaskan latar belakang tiap pelukis dan karya-karya mereka. Hari pembukaan keesokan harinya sangat ramai dan menggembirakan. Akhirnya kita dapat melihat hasil dari persiapan bertahun-tahun. Di samping kekayaan isi dari pameran dalam museum, perhatian besar juga telah ditujukan untuk bagian eksterior gedung. Beberapa seniman telah diminta membuat karya seni untuk memperkuat citra yang ingin ditampilkan bangunan ini: sebuah museum yang mendukung seni rupa modern dan kontemporer Indonesia. Relief patung besar di bagian depan dan beberapa karya seni di pintu masuk berfungsi sebagai pengantar bagi para pengunjung. Lantai halaman di pintu masuk museum dibagi menjadi kotak-kotak kecil, tiap kotak digarap oleh seniman yang berbeda. Karya seni ini menunjukkan kerjasama baik yang telah dibangun antara para seniman dan dr. Oei.

Sehari setelah pembukaan, acara diskusi berlangsung di Magelang. Topiknya dibagi dalam dua sesi. Sesi 1: Mengusung seni rupa Indonesia sebagai koleksi museum internasional: isu, tantangan, strategi. (Panelis: Kwok Kian Chow, Pearl Lam, Oei Hong Djien dan Helena Spanjaard, moderator Patricia Chen). Sesi 2: Memetakan seni rupa Indonesia untuk perkembangannya di pasar internasional: isu, tantangan, dan strategi. (Panelis: Pearl Lam, Magnus Renfrew dan Lorenzo Rudolf, moderator Patricia Chen).

Selama sesi pertama, disebutkan oleh para panelis bahwa beberapa topik berikut telah menghambat pemasaran seni rupa Indonesia di luar negeri: kurangnya museum publik representatif di Indonesia, kurangnya pameran regular di luar negeri, kurangnya publikasi dan pelatihan tentang sejarah seni rupa, dan kurangnya seniman yang tinggal di luar negeri.

Pada sesi kedua, infrastuktur galeri/ balai lelang/ pedagang seni dibahas. Panelis menekankan fakta bahwa harga suatu karya harus “nyata”, yang artinya seorang seniman harus mendapatkan tempatnya di pasar seni rupa dengan proses yang bertahap, dilindungi oleh pemasaran yang dilakukan oleh galeri yang sudah mapan. Untuk saya, diskusi ini sangatlah spesial, karena jarang terjadi di Indonesia bahwa ahli-ahli seni rupa asing dapat menyuarakan pendapat mereka. Kritik mereka sesungguhnya hanya dimaksudkan untuk membantu memasarkan seni rupa modern Indonesia ke luar negeri, seperti yang telah disampaikan oleh moderator acara ini pada kata pengantar yang disampaikannya.

Gambaran singkat mengenai acara pembukaan Museum OHD di Magelang menjadi pengantar saya untuk menuju pada pembahasan surat ini (Misteri Seni atau Sejarah Seni?), dan saya akan kembali pada kesimpulan diskusi panel di Magelang pada akhir surat saya.

Isu autentisitas dan peranan sejarah seni rupa
Segera setelah pembukaan Museum OHD, berbagai pertanyaan muncul sehubungan dengan autentisitas beberapa karya seni dalam pameran. Awalnya pertanyaan-pertanyaan ini anonim, tapi kemudian si pemrakarsa menunjukkan identitasnya. Karena saya masih berada di Indonesia saat itu, saya berkesempatan mengikuti kejadian ini, yang menggiring pada diselenggarakannya acara “Fine Art Round Table Discussion: Indonesian Modern Paintings” oleh Sarasvati Art Management pada 24 Mei 2012.

Pada tanggal tersebut, saya sudah kembali ke Belanda, tetapi resume diskusinya telah turut dikirimkan ke saya sehingga saya dapat membaca kesimpulannya sejauh ini.

Satu hal yang mengesankan untuk saya adalah kenyataan bahwa pada seluruh diskusi ini (sebuah inisiatif berarti dari dr. Oei dan peserta panel), beberapa orang tampaknya sadar akan pentingnya sebuah mata rantai yang terputus di Indonesia: tidak adanya fakultas sejarah seni rupa di tingkat universitas. Sebagai seorang sejarawan professional, saya ingin berkomentar tentang keganjilan situasi ini. Pertama, saya hendak mengutip beberapa kalimat dari Goenawan Mohamad yang dapat dibaca di resume yang dikirim oleh Sarasvati:

“Terlepas dari keributan soal isu lukisan palsu, dalam forum diskusi muncul sejumlah gagasan penting untuk membangun seni rupa Indonesia ke depan. Budayawan Goenawan Mohamad menyatakan, kisruh isu lukisan palsu ini muncul karena dunia seni rupa Indonesia tidak memiliki lembaga kritik yang sehat. “Juga tidak banyak jurnal yang menampung kritik,” ujarnya. “Kalau kedua hal ini ada, tentu kritik yang ada tidak akan menjadi liar, tapi lebih sistematis.”

Sekarang izinkan saya untuk memberikan analisa singkat mengenai dunia seni rupa Indonesia dibandingkan dengan dunia seni rupa internasional (terutama Belanda). Siapapun (di Indonesia maupun negara luar) yang hendak membuktikan bahwa sebuah lukisan itu palsu memerlukan kriteria standar tertentu yang berdasar pada penelitian. Di Eropa, dasar ini pertama-tama disediakan oleh badan substansial berupa museum yang didukung oleh pemerintah. Di museum-museum, karya seni dari berbagai periode berbeda ditampilkan. Mereka ditampilkan sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah “kanon‟ (karya seni paling berharga yang terpilih, dibuat oleh para spesialis, paling bernilai dalam arti kultural, bukan karena nilai finansialnya!) untuk masyarakat umum. Karya seni di museum mempunyai beberapa fungsi: mereka memberikan pandangan tentang sejarah nasional dan lokal sebuah negara, mereka menjadi latar belakang bersama sebuah masyarakat, dan dalam hal karya seni dari budaya dan periode lain: karya seni ini memperluas cakrawala pengunjung untuk belajar tentang budaya dan periode dari asal yang berbeda. Fungsi terpenting dari museum adalah fungsi edukatif, tetapi karya seni yang ditampilkan juga menyediakan kriteria standar, yang mana dengan demikian sejarawan seni dapat memulai penelitian mereka.

Dunia seni rupa di Eropa dibagi ke dalam beberapa bidang, pemerintah dan swasta. Di samping beberapa museum pemerintah mapan, terdapat juga museum swasta dan galeri seni yang menampilkan seni rupa untuk khalayak umum. Beberapa balai lelang yang dihormati menyediakan tempat di mana karya seni dijual. Kolektor pribadi ada, dan menjadi semakin penting dalam krisis ekonomi ini, tetapi mereka tidak memainkan peran domininan dalam dunia seni rupa.

Dimulai dari abad ke-19, universitas mendirikan departemen sejarah seni rupa. Pada fakultas akademis ini, karya seni dipelajari dan dijelaskan dalam buku dan majalah khusus. Publikasi ini dapat ditemukan di universitas, museum, dan perpustakaan umum. Beberapa sejarawan seni mempersembahkan seluruh hidup mereka untuk penelitian akademis, di samping aktivitas dasar mereka: mengajar. Kurator museum, pameran atau art fair internasional pada umumnya memiliki gelar di bidang sejarah seni, dan ini juga berlaku sama bagi kritikus seni yang menulis di surat kabar dan majalah.

Jika ada pertanyaan muncul mengenai autentisitas sebuah karya seni, sejarawan akan diminta untuk berpendapat, berdasarkan penelitian independen. Independen berarti bahwa keterlibatan sejarawan seni ini tidak berhubungan dengan individu atau institusi tertentu yang bertanya kepada mereka. Sejarawan seni mengimplementasikan metodologi sejarah seni rupa tepat yang telah mereka pelajari, dan jika ini tidak cukup, ahli-ahli lain akan dilibatkan, seperti penelitian laboratorium, atau pendapat kedua dari spesialis lain di bidang ini: misalnya restorator, dll, dll.

Sekarang mari kita kembali pada dunia seni rupa Indonesia. Museum Seni Rupa Modern nasional yang secara permanen mempertunjukkan seleksi karya seni historis oleh seniman-seniman terbaik belumlah ada. Maka karena itu, tidak ada tolak ukur standar untuk memperbandingkan lukisan. Contoh terbaik dari seni rupa Indonesia tersembunyikan dari mata publik karena mereka telah menjadi milik kolektor pribadi. Maka inisitatif pribadi manapun yang bersedia membukakan pintu mereka untuk masyarakat umum sangatlah berharga.

Sama seperti dunia seni rupa Eropa yang dibagi menjadi sektor pemerintah dan swasta, dunia seni rupa Indonesia pun demikian; namun dengan beberapa perbedaan penting. Institusi seni pemerintah masih harus dikembangkan (museum, fakultas sejarah seni, pusat dokumentasi). Dengan demikian, sektor swasta mendominasi sektor pemerintah. Balai lelang dan galeri memenuhi ruang kosong dari sektor pemerintah. Mengenai studi akademis seni rupa modern, situasinya tidak seimbang. Kebanyakan penulis mengenai seni rupa adalah seniman, atau jurnalis. Tidak ada yang salah mengenai seniman atau jurnalis yang menulis tentang seni rupa, asalkan ditampilkan juga sejumlah publikasi yang dilakukan oleh sejarawan seni rupa terlatih. Tetapi tidak demikian kenyataannya. Karena tidak ada fakultas sejarah seni di Indonesia, saya tidak bisa menyalahkan siapapun untuk situasi seperti ini, dan tentunya saya menghormati kritikus seni rupa Indonesia yang telah ke luar negeri untuk belajar di sana.

 

Apa akibat dari situasi ini?
Di Indonesia ada ratusan seniman yang didukung oleh kolektor pribadi. Pembelian lukisan seringkali berlangsung melalui perantara seperti balai lelang, walaupun saat senimannya masih hidup. Jumlah galeri seni rupa yang dikenal secara internasional sangat terbatas. Kurator pameran (yang biasanya juga adalah penulis dari katalog) pada umumnya terhubung kepada sponsor pribadi, karena tidak adanya dukungan dari pemerintah.

Bagaimana mungkin kita mengharapkan penilaian obyektif dari sebuah karya seni pada situasi yang seperti ini? Untuk mengembangkan pendapat independen, diperlukan adanya pilar ketiga setelah dunia jual-beli. Di Eropa, pilar ini disediakan oleh sejarawan seni rupa yang pada dasarnya berperan untuk melakukan penelitian dan pengajaran. Dokumentasi dari karya seni di insititusi-institusi dibuat berdasarkan pengetahuan mereka (keahlian, bukan kecaman!). Umumnya, pekerjaan penelitian sejarawan seni bukanlah sesuatu yang menyenangkan; ini adalah bagian dari penelitian sejarah yang mana sumber literatur memainkan peranan yang sangat penting. Dibutuhkan waktu dan kesabaran yang luar biasa untuk mengunjungi museum, perpustakaan, pusat arsip, keluarga pelukis, dll. Di Eropa, infrastuktur dunia seni rupa pada hakikatnya didasarkan pada penelitian mereka, sebuah penelitian yang diperuntukkan untuk masyarakat umum, untuk membuka sebuah dunia seni rupa bagi siapapun yang tertarik. Kesenian masih dipercaya memberikan sesuatu yang lebih pada kemanusiaan, sesuatu yang lebih dari sekadar nilai finansial sebuah karya seni.

Kurangnya kriteria standar yang layak di Indonesia, (museum pemerintah di mana kita bisa melihat contoh terbaik dari para pelukis penting, pusat dokumentasi di tingkat akademis) menciptakan ruang hampa berbahaya yang mana produksi lukisan palsu masuk dengan begitu pas-nya. Siapa yang dapat memutuskan mana yang palsu dan mana yang asli ketika tidak ada tolak ukur yang dapat diambil?

 

Kesimpulan
Selama diskusi di Magelang (6 April 2012), anggota panel menyuarakan hambatan jelas bagi pemasaran seni rupa Indonesia di luar negeri: kurangnya museum, kurangnya pameran di luar negeri, kurangnya publikasi profesional dan pelatihan di bidang sejarah seni. Pendapat mereka mencerminkan pengalaman pribadi saya sendiri sebagai peneliti yang sudah lama meneliti seni rupa modern dan kontemporer Indonesia.

Barangkali ini adalah saat bagi dunia seni rupa Indonesia untuk berefleksi pada kekosongan infrastruktur ini. Dunia seni rupa Indonesia terlalu terobsesi pada transaksi jual-beli. Di mana letaknya aspek edukasi? Mengapa menghabiskan begitu banyak uang untuk membeli sebuah lukisan dan tidak menginvestasikannya ke dalam dokumentasi, preservasi dan penelitian karya seni? Jika Indonesia hendak mempromosikan kekayaan seni rupa modern dan kontemporernya ke luar negeri, tentunya ini harus dilakukan sesuai dengan standar kriteria internasional. Salah satu dari standar ini adalah institusi penelitian dan dokumentasi yang layak, sebuah institusi yang juga dapat berfungsi sebagai jembatan bagi dunia seni internasional.

Maka, marilah kita berlaku positif terhadap inisiatif yang mau memperlihatkan seni rupa Indonesia yang selama ini tak pernah terlihat, kepada khalayak umum (termasuk kepada turis). Dr. Oei telah memberikan teladan luar biasa yang patut dicontoh oleh mereka yang lain. Mengenai isu asli palsu: ini adalah masalah yang telah diciptakan oleh kekurangan dari dunia seni rupa Indonesia itu sendiri, dan perlu diselesaikan dengan cara yang profesional. Ini membutuhkan waktu dan kesediaan untuk mengakui bahwa beberapa unsur terpenting dari iklim seni rupa yang sehat masih belum terwujud.

Tanpa penelitian yang tepat dan pengetahuan, alih-alih menjadi sorotan dari Sejarah Seni Rupa Indonesia,
seni rupa modern Indonesia akan tetap menjadi sebuah Misteri bagi kebanyakan orang.

 

 

Dr. Helena Spanjaard
Art Historian
University of Amsterdam

 

Tentang Penulis
Dr. Helena Spanjaard (1951) adalah sejarawan seni rupa asal Belanda yang tinggal di Amsterdam. Sejak 1980, ia telah aktif di bidang lukisan modern dan kontemporer Indonesia sebagai penulis, peneliti, dan kurator dari berbagai pameran (Indonesian Modern Art since 1945, De Oude Kerk, Amsterdam, 1993), (Reformasi Indonesia!, Museum Nusantara, Delft, 2000). Disertasinya, The ideal of modern Indonesian painting: the creation of a national cultural identity, 1900-1995, diterbitkan tahun 1998 oleh Universitas Leiden.

Di samping banyaknya artikel yang ia hasilkan, publikasinya juga termasuk monograf Widayat, the Magical Mysticism of a Modern Indonesian Artist (Museum H. Widayat, 1998), Modern Indonesian Painting (Sotheby‟s, 2003), Exploring Modern Indonesian Art; the Collection of Dr. Oei Hong Djien (Singapura: SNP International, 2004), Pioneers of Balinese Painting: The Rudolf Bonnet Collection (KIT Publishers, Amsterdam, 2007), Indonesian Odyssey (Equinox, 2008) dan The Dono Code (Catalogue Exhibition KIT Publishers, Amsterdam, 2009).

Berdasarkan Apa Perupa Menentukan Harga Karyanya?

Sebuah pertanyaan yang terkesan simpel dilontarkan oleh Kuss indarto tadi pagi di status FBnya. “Berdasarkan Apa Perupa Menentukan Harga Karyanya?”

Pertanyaan yang akan melahirkan banyak cerita, juga jawaban.
Pertanyaan yang bagi saya sendiri kemudian justru pada suatu saat di masa lampau menjadi alasan untuk kemudian memilih “memecatkan diri” dari lingkaran setan kehidupan “berseni rupa,” yang menyandarkan diri sepenuhnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup hanya dari transaksi karya seni rupa (seni lukis dengan teknik apapun)

Karya seni rupa baik itu berujud karya seni lukis, grafis cetak ataupun patung dan karya tiga dimensi lainnya beberapa waktu belakangan kembali hangat di bicarakan, setelah sempat dilanda kelesuan terkait krisis moneter yang melanda amerika juga eropa.

Tahun 2007-2009 kita diberondong berita tentang lakunya pelukis indonesia dengan harga mencengangkan di bursa lelang dunia.
Salah satunya lukisan Nyoman Masriadi (Gob) yang laku sampai menyentung angka 3, 5 milyar pada lelang di Art Singapore Fair tahun 2009 lalu. lalu Lukisan Masriadi lainnya, di Balai Lelang Sotheby yang berjudul “The Man from Bantul (The Final Round)”, tahun 2008 laku di Hong Kong senilai HK$ 7,8 juta atau sekitar Rp 9,5 miliar. wuihhh!!!
(ngeces-ngeces deh.. kalau dapet duwit segitu terus diapainn coba.. dipake kawin bolak-balik juga ga abis 😛 #plakkditamparin)

Geliat seni rupa kontemporer (kategori kurator :P) terutama seni lukis (diatas kavas) melahirkan transaksi dengan  nilai fantastis dan mencederai nalar sehat (juga nalar setan, jangan2 :P.)
Seorang pelukis baru yang belum tentu jumlah lukisannya melebihi jari tangan dan jempol tau-tau kaya mendadak, gara2 gaya visualnya masuk katagori kontemporer seiring tren gaya melukis yang sedang berkembang. lalu “dilewati”spekulan yang bisa memperdagangkan lukisannya.

Disusul mendadak kayanya beberapa teman pelukis yang kelimpahan berkah di borong lukisannya.
Maka dunia seni rupa (khususnya di jogja) jadi hiruk pikuk. Bersliweran kabar transaksi nan fantastis. Sampai semuanya reda di tahun 2009 sampai menjelang 2010.

Tahun 2010-2011 konon terjadi koreksi terhadap apa yang terjadi di tahun sebelumnya.
Karya-karya yang laku dengan nilai tinggi mulai mempertimbangkan banyak hal.
Dari mulai faktor sejarah, proses berkarya/ berkesenian, kekuatan konsep karya, juga keaktifan beraktivitas seni termasuk jam terbang pameran di dalamnya.

Hasil dari “koreksi” itu terasa.
Di balai lelang, giliran karya-karya maestro tua bermunculan dengan harga fantastis. Tercatat karya Sudjojono dan Lee Man Fong menyeruak dengan harga fantastik.
karya Lee Man Fong berjudul Bali Life terjual US$3,24 juta (sekitar Rp28 miliar) dalam lelang yang digelar Sotheby’s ( di akhirat apa gak pada ngiler tuh orang :P)

Dari runtutan dinamika  yang muncul dalam proses perkembangan apresiasi seni rupa dicermati dari sisi nilai nominal (harga) tersebut diatas, muncul samar-samar jawaban dari pertanyaan Kuss Indarto tersebut.

Seorang perupa saat akan “menghargai” secara nominal karyanya, harus mempertimbangkan apa yang sudah diungkap dan akhirnya memunculkan “koreksi” seperti yang tersebut diatas, antara lain:
1. Merunut jejak berkaryanya (proses berkesenian)
2. Kekuatan konsepnya,
3. kehebatan skill visual yang ditampilkan.
Minimal dari tiga hal tesebutlah. Ditambah jam terbang juga boleh. Setelah itu baru merumuskan harga yang akan dipatok.

Bagaimanapun hasil yang baik tidak bisa dipetik dari proses yang instant (klasik banget to :P)
lalu, meminjam kata bijak sang diktator Soeharto, “ojo gumunan, ojo kagetan” mensikapi reriuhan dalam banyak hal, mulai dari urusan politik, kehidupan sehari-hari, juga di wilayah seni rupa. termasuk reriuhan saat mematok harga lukisan. Juga saat melepas lukisan. jangan mentang-mentang laku lalu “semena-mena” melepas semua karya yang dibuat.
Ada cerita agak konyol dari seorang kawan yang karyanya tembus di atas seratus juta saat booming lukisan. Begitu boom lewat, ia jadi kesulitan menjual karyanya. Lha enggak mungkin kan “banting” harga, misalnya karyanya di korting jadi 50 juta. pasti diamuk sama  kolektor terdahulu yang beli mahal. Tetapi, kalau mau tetap bertahan di angka ratusan juta ya dijamin gigit jari. 🙂

Ada juga cerita tentang betapa banyaknya lukisan seorang pelukis yang dilepas saat sedang “laku-laku”nya. Kemudian disaat krisis, karyanya dibanting harganya jauh dari standar harga yang sudah “diakui” pasar oleh spekulan yang teledor mengharap untung berujung buntung. Sebuah blunder tentu saja.

Lalu, ngapain saya menulis ini? 😛
Sekedar sedang menyemangati diri sendiri saja.  Mumpung di blog pribadi :))
Untuk tidak terlalu lama “memecatkan diri” dari dunia seni rupa yang bagaimanapun juga masih tetap saya suntuki, meski dengan produktifitas berkarya yang sangat-sangat memprihatinkan 😛
Mencatat proses hidup dalam bentuk rupa, baik itu lukisan, grafis, dan media lain yang sempat saya sentuh, dan saat saya tengok ternyata jejaknya tak terhapus juga. Mulai dari saat kuliah sampai sekarang.

Kemudian, bila itu dikaitkan dengan nilai yang akan menentukan kualitas saya, semua saya kembalikan kepada yang akan mengakpresiasi karya yang saya “lahirkan”P

Yang penting sih .. Tetap “mencatat” dalam bentuk karya
Yukk mari… :))

Masih Ada Yang Ingat Vinyet?

Sebagai catatan awal, kalau anda googling kata vinyet, yang akan berhamburan adalah vinyet sebagai salah satu teknik dalam fotografi. Tambahkan kata “gambar” di depan vinyet, jangan-jangan, tulisan saya ini yang akan muncul..:))

Menurut KBBI, Vinyet adalah, 1:  Bentuk hiasan dl seni grafika dan arsitektur yg diambil dr bentuk tbhn mrambat, daun, dsb
2: Goresan atau potret kecil pd bidang tepi sekeliling halaman buku.

Stilasi daun/ pohon merambat, adalah ciri khas vinyet, ditambah pengulangan bentuk dasar, atau garis. Bentuk manusia dan hewan juga tidak haram.
Ciri lain adalah, bercorak dekoratif sehingga terlihat flat.

Di Indonesia, Vinyet pernah merasakan “masa jaya”, pada tahun 1970-1980 an.
Majalah gaul semacam HAI saja di masa itu memuat gambar Vinyet untuk mengisi ruang kosong di sela-sela rubrik-rubriknya, terutama rubrik sastra/ puisi.

Selain majalah, Koran Pos Kota tercatat  memuat gambar Vinyet berdampingan dengan Kartun di edisi minggu.
Juga beberapa koran merah terbitan daerah atau Jakarta. Dengan “kreatif ” memanfaatkan gambar Vinyet untuk menyembunyikan angka-angka keberuntungan yang bisa diutak-atik sebelum membeli kupon undian berhadiah/Porkas dan SDSB.

Yang paling “memanusiakan” vinyet, tentu saja majalah Sastra.
Disela-sela rubrik puisi, Vinyet muncul selain untuk mengisi ruang kosong, juga menjadi pemanis bernilai artistik.

Di tahun 1990an awal, saya masih merasakan manisnya “berkah” vinyet, saat gambar Vinyet yang saya buat dimuat di majalah Putera Kita dan Djoko Lodang di Jogjakarta. Jaman  masih sekolah SMU/SMSR, uang jajan di dapat selain dari membuat gambar kartun, juga dari Vinyet. Waktu itu honor vinyet lebih rendah dari kartun. KAlau tidak salah Rp. 2.500,- yang cukup buat jajan di kantin (harga nasi bungkus masih seratus perak :P)

Kembali ke Vinyet.
Vinyet yang “fitrahnya” adalah berfungsi mengisi ruang kosong pada tulisan yang sering tidak terprediksi ujungnya, kemudian kehilangan “eksistensi”nya setelah Problem ruang kosong kemudian diatasi oleh software macam Page Maker, atau Indesign versi terbarunya,
Software tersebut mempunyai kemampuan mengatur huruf sedemikian rupa sehingga problem jarak antar huruf, atau antar kalimat yang menyebabkan naskah “menggantung” bisa diatasi.

Tetapi, apakah gara-gara kemajuan teknologi Vinyet kemudian “punah” seperti sekarang?
Tak ditemukan lagi jejak gambar Vinyet di koran atau majalah pop. (Mungkin di majalah Sastra masih ditemukan)
Atau mungkin kesan jadul gambar Vinyet yang membuatnya seperti tidak layak untuk ditampilkan di koran atau majalah “modern.”

Mungkin, perlu tafsir visual ulang terhadap vinyet agar bisa tapil lagi di majalah dan koran, eksis sebagai seni gambar yang utuh, tetapi tidak melupakan fungs awal, sebagai “pemanis” kekosongan ruang.
Atau, jangan-jangan, kita bisa menggunakan medium visual vinyet yang secara umum visual yang dimunculkan adalah nuansa liris, kontemplatif, atau imajinatif cenderung romantik, sebagai alat terapi bagi yag sedang galau?

Coba saja, buat anda yag sedang galau, buatlah gambar vinyet.
:-)).. itung-itung melestarikan seni gambar Vinyet agar tak punah. 😛

ilustrasi: vinyet yg saya buat beberapa tahun lalu

Jalan Sunyi Sito Pati

Mengenal seniman satu ini adalah saat beliau menghelat pameran Tugas Akhir di Gampingan 1. Kampus legendaris Fakultas seni Rupa Institut Seni Indonesia/ ISI Jogjakarta, di Awal Tahun 90an, saat itu aku masih mahasiswa culun.
Deretan perahu mendominasi sekitar 20an karya seni lukis diatas kanvas dengan ukuran rata-rata 1 Meter-an. Gambar ngungun dan senyap mendominasian bidang-bidang kanvas yang dieja oleh Sito Pati, mengingatkan pada karya-karya mistis milik pendahulunya, Amang Rahman.

Tak ada waktu yang cukup untuk bisa akrab dengan seniman satu ini, karena saat aku datang menginjak kampus Gampingan, beliau lulus dan “menghilang” Dalam hiruk pikuk pameran seni rupa pun, jarang kutemui karya-karyanya yang liris itu. Untung, kakakku lumayan dekat dan memang satu angkatan, meski beda jurusan dengan Sito pati. Darinyalah aku sering mendengar lamat-lamat potongan cerita seniman yang diam-diam ku idolakan itu. Cerita tentang kesederhanaannya menjalani hidup, ditengah himpitan kesulitan ekonomi yang akrab menerpa seniman/ perupa. Juga dinamika proses berkeseniannya yang sederhana tetapi unik.
Sesederhana penampilan kesehariannya yang setia dengan sepeda onthel, ditengah teman-teman sesama perupa, yang saat mengalami boom, menjadi jutawan lalu menjelma menjadi borjuis-borjuis kecil. Sito Pati tetap mengayuh keserhanaannya seiring sepeda ontel yang setia menemani kesehariannya.

Pertemuan kedua/ terakhirku adalah kemarin, saat dia dan teman-teman lainnya yang tergabung dalam komunitas persatuan paguyuban, menyiapkan display pameran untuk FKY di benteng Vredeburg. Masih berbalut dengan segala atribut kesederhanaannya, kulihat dengan mata kepala sendiri, beliau tampak ragu-ragu saat masuk ke lokasi pameran, bahkan sempat di berhentikan oleh satpam, tidak boleh masuk.
Baru setelah salah seorang temannya menjelaskan kalau dia adalah salah satu seniman yang akan mendisplay pameran, beliau diperbolehkan masuk. (seandainya saja satpam itu tau, orang sederhana itu memiliki lukisan bernilai puluhan juta, pasti lain ceritanya..:-P)

Lalu cerita “ajaib” seputar sang seniman ini meluncur dari mulut kakakku. Soal penolakannya saat lukisannya ditawar akan dibeli dengan nominal yang sebenarnya cukup tinggi, padahal kondisi perekonomian saat itu sedang dalam kondisi sulit.
Juga cerita tentang karyanya yang laku cukup mahal, tetapi tak sedikitpun merubah penampilannya yang sederhana. Masih tetap bersepeda onthel buluk kemanapun perginya.”Sakjane tuku motor papat yo kuat, ning yo ora tuku ki” kata kakakku sambil terkekeh.. (Sebenarnya kuat buat beli sepeda motor empat, tetapi, tak beli juga tuh) Saat teman yang lain masih nongkrog di selasar benteng, seniman idolaku itu pamit pulang, sambil menuntun sepedanya..”Ngedusi anak sik” katanya enteng, sambil berlalu… Menghilang di belokan pintu gerbang Tak hanya di dalam kanvas, seniman itu mengeja kesederhanaan dalam kesunyian, tetapi juga dalam laku hidup kesehariannya. Setidaknya itu menurut cerita kakakku.  Juga gambaran yang kulihat barusan.


gambar nyomot semena2 dari: jogjanews.com

celurit diseberang gambir

Boneka Gedebok pisang itu mencolok di ruang depan gedung Galeri Nasional. Dua boneka gedebog pisang. Di kiri kanan mengapit gambar proses kreatif sang seniman tercetak dalam digital print ukuran besar.

Memasuki ruangan tengah, belasan gambar dengan beragam teknik cetak berikut media cetak berupa logam, dari seng sari sampai tembaga terpacak apik dan rapi. Memvisualkan beragam ekpresi sang seniman dengan tema tidak jauh dari Isyu lingkungan dan main-main politik.

Yah.. Tisna sanjaya, malam tadi/ 18-12-2008 menghelat pameran tunggal di Galeri Nasional Jakarta. Mengusung tema besar Ideocracy, Tisna benar-benar habis-habisan kali ini. Beragam karyanya memenuhi dua ruangan di Galnas.
Dari “menginstal” mobil dengan tumpukan kanvas, seolah-olah meledek perdagangan lukisan yang sering tak manusiawi, sampai deretan air yang ditempatkan dalam wadah kaca berikut keterangan asal air. seperti ingin memperlihatkan keberagaman kwalitas air beserta problem rumit didalamnya.

Kemudian, yang  tertangkap dari keseluruhan pameran tunggal itu adalah, gelegak dahsyat penuh energi dari seorang Tisna sanjaya. Kekuatan energi kreatif yang melampaui tubuh gempalnya. Kekuatan tetapi tidak melupakan detail.

Yang juga layak dicatat adalah adalah kejeliannya mereplikasi lusinan celurit dalam berbagai media. Ada yang tertancap di boneka gedebog pisang. Ada yang direkatkan di kanvas. Di susun dalam bermacam komposisi. melahirkan estetika unik yang tak mereduksi fungsi celurit sebagai benda tajam.

Tentang celurit itu, saya sempat berpikir, sebenarnya ia bisa menjadi tema terpisah dengan kekuatan simbolik yang sangat kuat.
Celurit dengan sejarah kelam terkait dengan Gestapu misalnya. Atau celurit sebagai alat yang identik dengan kekerasan. Juga celurit sebagai alat pegangan sehari-hari para petani untuk menyabit rumput yang sama sekali tak mengesankan kekerasan. hanya berhenti sebagai alat.

Tak berlebihan kalau event pameran Tisna sanjaya kali ini disebut sebagai Persembahan akhir tahun yang “manis” untuk seni rupa indonesia.